Abdullah’s birth story. Cerita kelahiran Abdullah.

Labour and birth story of Abdullah Saifullah.

“Kalau ada bagian kelahiran yg gak mau aku inget itu ya long labour aku, pas kontraksi 2 hari, hadeeuhh.. “, Kataku ke suami. Tapi sekarang ternyata aku sudah bisa ceritain lagi, di sini. Harapanku semoga cerita pengalaman “long labour” dan kelahiranku ini bisa bermanfaat buat teman-temanku yang juga lagi hamil atau mempersiapkan kehamilan. Eits, bukan untuk dibandingkan, karena setiap ibu dan bayi pasti unik dan berbeda ceritanya. Tapi buat diambil pelajaran dan barangkaliii mana tahu nanti bakal ada yg ngalamin beberapa hal yang mirip, jadi bisa tahu dulu gimana kira-kira kejadiannya (khususnya untuk yang pertama kali hamil).

(Disclaimer: Jika menemukan istilah/kata yang kamu belum paham, mohon kerelaan untuk googling dulu ya🙏 terimakasih).

29 Juni 2020. HPL/EDD Bayi.

Belum ada tanda-tanda ‘besar’. Baru sekedar kontraksi ‘palsu’ aja yang biasanya hanya muncul di pagi/malam hari. Usaha-usaha menjelang HPL dan setelah HPL: Jalan kaki tiap hari, beberapa kali physical exercise di daerah pelvis dan sekitarnya, dan induksi alami lainnya (sampe makan nanas potong sekotak😂walaupun kata artikel gak akan berpengaruh kecuali makan 7 whole buah nanas, tapi entah kenapa abis makan nanas emang kerasa makin cepet *mungkin hanya sugesti yha~).

Oke, ya gapapa belum lahir di hari ini, namanya juga hari perkiraan..

H+2 HPL. Jadwal ketemu midwife untuk kontrol dan membrane sweep (sejenis induksi alami dengan bantuan tangan bidan masuk berusaha “melebarkan” buka-an).

Sekitar jam 7 pagi, mulai merasakan sakit yang gak biasa di perut bawah. Hmm, aku sudah curiga. Akhirnya coba ngeliat jam. Daan ternyata sakitnya muncul 5 menit sekali. Langsung bilang ke suami. Suami langsung telpon Rumah Sakit bersalin (maternity hospital). Kata RS, “oh, sepertinya proses “labour” udah dimulai. Tunggu sampai 3 menit sekali, baru telpon lagi ya”. Hadeeeuuh, okelah, aku berusaha sabar sambil menahan-nahan, eh bukan deng, tepatnya mengontrol sakit yang datang.

*Oya, untuk tips, tiap sakit datang, aku kontrol dengan mindfulness breathing ceunah istilahnya. Banyak kok di youtube, cari aja pernapasan saat kontraksi / menjelang melahirkan. Aku lihat dari link ini: https://youtu.be/C8YwD4aTyfs. Penjelasannya enak dan mudah dipahami. Ada 3 napas; napas saat masih kontraksi buka-an awal (sampai buka-an 7, kalau gak salah), napas saat sudah mau pembukaan lengkap tapi belum boleh ngeden, dan napas saat benar-benar akan melahirkan. Aku sudah praktekkan ketiganya, dan alhamdulillah it works.

Selain napas, selama mengontrol rasa sakit kontraksi juga didukung sama zikir; istighfar dan do’a Nabi Yunus saat di dalam perut ikan paus: Laa ilaaha illa anta, subhanaka, inni kuntu minazhzhaalimiin. (Esensinya pakai do’a ini sebenarnya lebih ke memohon ampunan ke Allah-nya di saat sakit/lemah, bukan karena “do’a khusus saat hamil”).

(Oya, selama hamil aku suka mikir, kek mana sih emangnya kontraksi ‘asli’ itu? Akhirnya merasakan hari ini. Awal-awal baru terasa di perut bagian bawah (lower abdomen), tapi lama-lama akan terasa sampai punggung; seperti yang banyak terjelaskan di artikel atau oleh keluarga/teman yang sudah pernah melahirkan).

Jam 11.00.

Bidan puskesmas (community midwife) nelpon. Dia lihat (karena semua data terkomputerisasi) aku sudah telpon RS perkara kontraksi 5 menit sekali. Jadi dia tanya masih mau ke bidan untuk dicek dan membrane sweep, atau nunggu aja sampe ada progres berikutnya. Aku jawab mau ke bidan, dicek, dan membrane sweep. Dari kemarin sudah ada firasat, ini kayaknya udah ada buka-an. Dan berharap membrane sweep bisa makin menyegerakan pembukaan lengkap.

12.00 di puskesmas.

Benar firasatku, ternyata sudah pembukaan 3. Alhamdulillah lega.. Dan pas banget di bidan itu, mulai keluar flek.

Selesai di-membrane sweep, bidan bilang, “kayaknya kamu bisa meet your baby tonight. Aku akan sangat heran kalau sampai besok siang kamu belum lahiran. Kalau emang belum, nanti aku telpon utk bikin appointment induksi di RS ya..”

Oke, akhirnya aku dan suami nunggu di rumah. Kontraksi sudah mulai 3 menit sekali. Masih bisa makan siang tapi gak habis. Lama-lama kontraksi melonggar balik jd 5-6 menit sekali.

Tapi udah ajalah telpon RS. Akhirnya diijinin ke RS, langsung ke midwife unit (birth plan hasil diskusi dgn community midwife, aku akan lahiran normal di unit bidan RS, dikarenakan alhamdulillah kehamilanku termasuk yg berisiko rendah / low risk).

Di midwife unit, diperiksa, ternyata masih buka-an 3 😭. Akhirnya pulang. Sampai malam, sakit-sakitan mengontrol kontraksi, makan sudah gak bener. Berendam air hangat pas sore sudah dilakukan. Enak sih, memang meredam sakit tapi begitu selesai berendam, ya sakit lagi😂.

H+3 HPL.

Sepanjang malam gak bisa tidur, karena tiap mau merem, kerasa sakit lagi, dst. Dibawa jalan bolak-balik di kamar, jongkok, dan sebagainya. Sambil coba setel murottal juga sudah. Kontraksi masih 3-5 menit sekali. Kadang sekali kontraksi bertahan 1-2 menit. Pendarahan juga makin banyak.

Jam 3 memutuskan, pokoknya apapun yg terjadi, abis shubuh mau ke RS lagi! Abis suami sholat shubuh, akhirnya telpon dan pergi lagi ke RS.

Di RS masuk triage, gak boleh langsung ke midwife unit. Dicek, masih buka-an 3, hampir 4😭. Karena nyeriku udah sakit banget, dikasih painkiller 1 paracetamol dan 1 obat lagi yang setingkat di atasnya (lupa namanya, ada D dan K-nya, bukan ibuprofen ya). Trus disuruh bilang ke suami untuk beli paracetamol untuk persediaan di rumah. Akhirnya pulang, alhamdulillah obat RS membantu untuk tidur sampai siang. Walau gak full terlelap, tapi jauh lebih baik dari malam tadi (oya, paracetamol jadi kami beli, tapi percayalah itu tidak membantu signifikan 😂😂).

Jam 12.30 siang.

Lagi mengontrol sakit kontraksi dibantu suami, tetiba “pop!”, ada yg “meletus”. Ketubanku pecah! Langsung bilang ke suami dan suami telpon RS lagi. RS bilang, kalau ketubanmu pecah, tapi warnanya jernih (normal), kamu gak harus ke RS. Emang kalau udah di RS, kamu mau apa? Cuma mau dicek? Mau dapat painkiller lagi? Atau ada rencana apa?

Terus kami bingung, lah, orang kata para midwife disuruh telpon RS kalau ketuban pecah. Akhirnya, yowislah biar diizinin, kita jawab aja, iya aku mau cek buka-an dan dapat painkiller.

Di RS kembali masuk Triage. Rupanya lagi rame pasien. Kontraksi udah kerasa makin sakit + pendarahan + ketuban pecah. Gak nyaman-lah. Tapi ya Allah, dilayaninnya lamaaa banget, para petugas berjalan dengan santai (typicalnya emang gitu sih, di sini, kecuali darurat wkwk). Greget aku tuuh, udah sengaja suara dikeras-keras-in pas kesakitan, tetep aja mereka mah cuek, wkwk.

Akhirnya bidan yang bertugas datang. Sebelum dicek, aku dikasih painkiller dulu & disuruh tunggu 30 menit buat lihat reaksinya. Me like, “what?? 30minutes?”…, setelah aku menunggu lama sebelumnya. Trus katanya, “iya, kan kita mau lihat reaksinya dulu..”

OMG.. Ku bilang; bisa lebih cepet gak.., dengan muka pasrah. Bidan cuma senyum & menenangkan. Mengingatkanku buat tarik napas seperti yg sudah aku lakukan tiap kontraksi muncul (dan mereka selalu bilang “you’re doing great” karena napasnya udah benar (Alhamdulillah). Setelah dicek, ternyata masih bukaan 3😭 kagetlah saya. Gak mungkin, pikirku, ini sudah sesakit ini….

Disuruh pulang lagi, “..coba relaks di rumah (menurut nganaa, relaks gimancuy lagi, apa aku harus berendam seharian wkwk), nanti kalau kontraksi makin kuat (ini udah sakit bet😭😂), atau malah melemah, telpon RS lagi aja. Kalau sampe besok pagi belum ada tanda2 menguat, kita induksi..”

Oke siap. Udahlah, pokoknya setelah ini kalau ke RS aku gak mau pulang lagi! Biarin, induksi aja!

Selanjutnya sampai malam cuma bisa mengontrol rasa sakit, makan berat gak bisa. Sempet dipaksa, tapi pas kontraksi muncul malah muntah. Akhirnya minum aja dan makan kurma beberapa buah, atas saran kakak.

Sekitar jam 20.30

Lagi mengontrol rasa sakit sambil dibawa jalan kaki dalam kamar, tiba-tiba terasa dorongan kuat dari rahim ke arah pelvis dan bottom (pan*a*). Kayak ada yg minta dikeluarin. Kuat, dan sakitnya lebih dari kontraksi yg lain. Aku langsung teriak.

Kucoba berendam lagi. Kontraksi lain mereda, tapi dorongan ke bawah ini tetap ada pas di dalam air.

Firasatku: bayinya udah mau keluar.

Aku sampaikan ke suami. Suami belum sepenuhnya yakin. Sambil buka artikel tanda-tanda labour and birth, suami masih bilang ini tanda fase 2 aja. Kami jd bingung, mungkin karena takut ditolak RS lagi. Tapi akhirnya kami telpon & coba jelaskan sakitnya. Alhamdulillah, reaksi RS sangat baik & aku bisa segera ke RS.

Di RS sekitar pukul 21~

Jalan tertatih ke Triage, sendirian, karena selama covid-19 suami gak boleh masuk, kecuali saat melahirkan. Sambil mengontrol rasa sakit, sambil zikir, sugesti + bilang ke bayi: “kak, jangan dorong sekarang, nanti aja di ruang lahiran”. Dan alhamdulillah it works! Walau masih ada dorongan, tapi masih bisa dikontrol.

Di triage, masih disuruh tunggu sama resepsionisnya. Hadeeuh, akhirnya kubilang, “the baby is pushing so hard..” dan memohon biar cepet plis cepeeet. Alhamdulillah triagenya sepi. Cuman ada aku (yes! 😭). Begitu bidannya datang, secara cepat dia langsung periksa buka-an, dan.. Maasyaa Allah, dia bilang, “I don’t see any cervix“. Artinya, buka-an sudah lengkap!! “kita akan langsung bawa kamu ke midwife unit ya..”.

😭😭😭 huaa ya Allah, rasanya lega, bahagia, akhirnya, alhamdulillah. L angsung update kabar ke suami & keluarga di Indonesia dan Qatar (keluarga suami). Suami langsung ke midwife unit. Di sini staf-staf RS sudah mulai bergerak cepat.

21.xx @ Midwife unit

Aku mulai ngomong sama bayi kalau sekarang udah bisa ngedorong. Namun karena aku sedikit ada rasa takut, aku sendiri jadi merasa kurang yakin (mungkin ini yang nantinya mempengaruhi proses kelahiran di tahap-tahap awal yang cenderung lamban).

Usaha pertama, kami coba water birth alias melahirkan di dalam air (di bathtub/jacuzzi). Memang menenangkan, tapi kontraksi yg diharapkan jarang sekali muncul (padahal pas di rumah sering muncul 😅). Pas muncul, ngeden, doronganku gak cukup. Alhasil berkali2 coba, alhamdulillah ‘baru’ sampai ke “rambutnya sudah keliatan tuh..” setiap ngeden. Lalu kelelep (masuk) lagi, karena kontraksinya cuma sebentar-sebentar. Lama kelamaan aku keburu capek, dan minta pindah ke luar air, ke atas bed persalinan.

Jam 22 lebih. Sudah lewat waktu Maghrib.

Belum ada tanda progres. Akhirnya dicoba ke luar air. Sama saja. Kontraksi muncul sebentar-sebentar, doronganku juga gak kuat. Fix aku emang udah merasa lelah..

Bidan pun berkonsultasi dengan bidan lain dan dokter di unit labour ward (ruang bersalin di luar midwife unit). Aku disarankan untuk dipindah ke labour ward dan diberi induksi hormonal drip (bisa googling: hormonal drip induced labour). Jadi karena masalahku ada di kontraksi yg hanya sedikit dan sebentar, makanya dibantu hormon. Yang mana, hormon ini akan “merangsang” munculnya kontraksi (karena ngeden hanya boleh kalau ada kontraksi; gak ada kontraksi, gak boleh ngeden. Bahaya).

Pindah ke labour ward.

Di labour ward, hormonal drip dipasang (pake selang IV/infus), bayi dipantau pake continous EFM (electronic fetal monitoring), intinya dikontrol secara kontinyu pake komputer dan kabel yg dihubungkan ke kulit perut bagian rahim. Sebelumnya cuma pakai doppler, atau alat buat mendengarkan detak jantung bayi yg pakai bantuan gel USG itu.

Kantung kemih dikosongkan pake kateter (karena udah gak bisa pipis). Ternyata isinya masih banyak, dan kata salah 1 bidan, bisa jadi itu yg menghalangi kontraksi muncul juga. Benar saja, setelah urin dikeluarkan, kontraksi makin terasa.

Akhirnya, setelah menunggu hormon berefek, kontraksi mulai berdatangan. Di dalam ward ada 3 health professionals (HP) yg bertugas dan suami. 1 bidan, 1 kepala bidan, 1 dokter (lupa dokter apa, yg mengurus hormonal dripnya). (Oya malam itu, tidak ada pasien bersalin lain selain aku). Semua HP perempuan. Mungkin karena memang aku juga menuliskan di birth plan agar semua staf yang bertugas dan masuk ke ruangan, sebisa mungkin, perempuan. Seruangan heboh menyemangati tiap kontraksi muncul: “Ok, take a deep breath, and… push, push to my hand (Bidan meletakkan tangannya di pintu keluar jalan lahir) ! Push, like you poe-ing!“.

Give me more! I need more than that! Push more! Push more!!”

“Come on, you’re doing great! “

Beberapa kali nyoba tetep masih sampai “rambutnya udah keliatan”. Aku juga sempat bilang, I don’t have energy. Sempat juga terpikir dalam hati; aku sanggup gak ya ini lahiran normal, udah lelah gini, apa jangan-jangan aku bakal c-section? Fyi, jauh jauh hari aku udah meyakinkan diri, bahwa walaupun rencanaku adalah lahiran normal, tapi apapun bisa terjadi, dan aku sudah siap dengan cara lahiran apapun yang nantinya akan terjadi di fakta lapangan. Tapi semua tetap nyemangatin dan yakin aku bisa melahirkan malam ini dengan metode yang sudah disiapkan. “You are doing great“, ceunah.

Bidan mengingatkan, setelah tarik napas dalam, ngeden, jangan cepat-cepat dibuang dulu napasnya. Karena kepala bayinya masuk lagi. Kalau habis, langsung cepat tarik napas dalam lagi dan ngeden lagi. Ngedennya yang panjang.

Aku pun mulai meyakinkan diri sendiri, sambil dalam hati minta maaf ke bayi karena tadi sempat tidak yakin di awal proses melahirkan. Sekarang aku udah bertekad untuk benar-benar berusaha lebih baik dari sebelumnya!

Akhirnya dicoba lagi, ngeden/ngedorong lebih keras, lumayan berprogres. Tapi karena belum banyak berubah, dan ternyata bayi sudah kecapekan juga, akhirnya bidan menawarkan untuk di-episiotomi (digunting duluan untuk melebarkan jalan lahir). Kami setuju.

Dan di kontraksi berikut-berikutnya, alhamdulillah aku bisa ngeden lebih panjang, ngedorong lebih kuat.. Sampai akhirnya…

“ok, stop, stop! Take a breath!”.

Aku disuruh stop dan bernapas biasa yang banyak, karena kepala bayi sudah berhasil keluar, alhamdulillah. Tapi karena aku belum bisa lihat apapun, aku jadi kebingungan, apalagi suara bayi juga gak ada. Suami pun terlihat syok ngeliat kepala bayi keluar.

Bidan dan dokter juga diam sejenak.

“Ok, sekarang gak perlu nunggu kontraksi, kamu tarik napas dan dorong!”, lanjut kepala bidan.

Kulakukan, dan alhamdulillah, leher dan seluruh tubuh bayi keluar, saat hari sudah berganti ke hari Jum’at, hanya lewat belasan menit dari pergantian hari (40W+4Days). (Menandakan proses labour and birth anak pertama kami bisa dibilang berlangsung selama kurang lebih 41 jam).

Bidan langsung mengangkatnya ke hadapanku. “Ok, sekarang kita lihat kalian dapat (jenis kelamin) apa.. It’s a boy!”, kata bidan.

Bayi langsung diletakkan di atas dada untuk “skin-to-skin“. Aku masih kaget, lega, gak percaya, kagum, maasyaa Allah, kami sudah punya bayi..

Momen pertama kali melihat Abdullah keluar dari rahim mungkin akan menjadi salah 1 momen tak terlupakan dalam hidupku. Kalau ada yg bilang “it’s such a miracle“, itu gak berlebihan dan gak klise. Da emang gitu, tunggu sampai kamu merasakannya, in syaa Allah :’) *bagi yg memang menginginkan dan merencanakan.

Kalau momen sakit-sakit kontraksinya, yaaa dilupakan dulu sejenak bolehlah 😂.

Alhamdulillahilladzi bini’matihi tatimush-shalihat. Alhamdulillah ‘ala kulli hal. Segala puji dan terima kasih hanya kepada Allah Rabbal ‘aalamiin.

Terimakasih buat suami dan keluarga untuk dukungan dan do’a-do’anya. Thank you to all NHS (National Health Service) staffs; doctor, midwife, nurse, student-midwife (trainee), etc. Terimakasih buat semua teman dan saudara/i di Aberdeen untuk dukungan moral, makanan, transport, dan semuaa.. Terimakasih juga buat semua saudara dan teman di Indonesia, UK, Belanda, dan dimanapun berada, untuk do’a-do’a baik dan dukungannya. Maaf kalau tiba-tiba update pas udah lahiran. Memang kami menyepakati untuk tidak banyak / tidak secara jelas posting di sosial media soal kehamilan sejak awal hamil. Anyway, We love you, uwuu~

Sekian dulu cerita kelahirannya. Maaf, ‘kan jadi panjang😂. Jika ada yg ingin ditanyakan karena memang butuh untuk tahu, silakan ketik di kolom komentar atau dm saja. Semoga ada yg bisa dibantu (kalau tidak, semoga kubisa cukup suportif). Aamiin.

Wassalamu’alaykum.

p. s. Special thanks to my husband and son, for fighting together, with the 3 of us in this pandemic situation Thank you husband for always reminding me that we have Allah (so actually it’s 4 not only 3 of us 🤗 ++do’a from parents, family, and good friends).

(Walaupun di cerita ini gak banyak cerita ttg keterlibatan suami (nanti makin panjang 😅) tapi 100% suami saya Alhamdulillah terlibat aktif di setiap paragraf cerita ini (makanya dikasih special thanks❤). Jadi pesan untuk para suami, peran kalian sangat penting di proses kehamilan dan kelahiran istri (dan seterusnya tentunya). Bantu dengan peran apapun yang kalian bisa; menemani, mengantar, masak, belanja, pijat, mengingatkan kebaikan, mengoordinir bantuan dari teman/tetangga, nelpon RS, beresin rumah, belajar soal kehamilan juga, dll).

Aberdeen, 16 Juli 2020. H14 Abdullah.

Leave a comment